KETAPANG, MENITNEWS.id – Sekretaris Daerah Kabupaten Ketapang, Alexander Wilyo, menjadi pembicara pada seminar nasional Pekan Gawai Dayak (PGD) XXXVII di Pontianak, Kamis (18/5). Seminar ini mengangkat tentang “Tanah dan Hutan Adat Dayak, Kini dan Masa Depan”.
Hadir dan menjadi pembicara pada kesempatan itu Wakil Menteri ATR/BPN, Raja Juli Antony, dan Wakil Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Aloe Dohong. Seminar ini dihadiri oleh lebih dari 200 orang. Mulai dari unsur multietnik, Kanwil ATR/BPN Provinsi Kalbar, Balai KSDA Kementerian LH, elemen masyarakat, DAD, ormas Dayak, OKP, peserta bujang dara, mahasiswa, tokoh adat dan LSM.
Alex yang juga bergelar Patih Jaga Pati Desa Sembilan Domong Sepuluh Kerajaan Hulu Aik bergelar Raden Cendaga Pintu Bumi Jaga Banua mengatakan, tanah adalah permukaan bumi yang ditempati suatu kaum atau bangsa yang diberi batas. Sedangkan adat adalah aturan atau perbuatan dan sebagainya, yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala.
Sedangkan tanah adat sendiri adalah tanah milik yang diatur menurut hukum adat setempat.
“Tanah, adalah given dari Sang Pencipta. Namun, ketika ada penghuni atau pemilik, maka tanah itu menjadi milik orang perorang atau klan atau komunitas adat yang tinggal di situ. Di kalangan masyarakat adat Dayak, terbentuknya tanah adat itu menarik untuk ditelusuri, bagaimana tanah adat ini terbentuk,” kata Alex.
“Sebelumnya, mari melihat surut ke belakang. Dayak disebut Indigenous People of Borneo. Artinya, kebenaran yang diterima umum, yang tidak perlu lagi pembuktian,” lanjut Alex.
Alex mengutip tulisan Charles Tyler tahun 1993. Dari penelitian ilmiah atau uji karbon oleh Muzium Sarawak, bekerja sama dengan Inggris, diketahui penghuni Borneo (sebutan Kalimantan di masa kolonial dan penulis barat dahulu) telah ada 40.000 tahun silam di Gua Niah, wilayah Miri, Sarawak. “Artinya, Dayak adalah Idigeneous People of Borneo,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, di kalangan penghuni asli Borneo, kode-kode atau simbol kepemilikan tanah itu diketahui dengan pasti. Tidak demikian halnya dengan pendatang. Mereka mengira, asalkan ada lahan atau tanah kosong, maka tidak ada yang punya.
Seiring waktu, dengan mulai datangnya orang asing ke Kalimantan, konflik lahan atau tanah mulai terjadi. Orang Dayak yang secara adat dan tradisi tidak membuat SKT dan sertikat tanah, kalah secara hukum negara. Lalu era 1970-an, mulai masuk HPH atau program transmigrasi atau tanah Kalimantan mulai menjadi rebutan, kemudian perusahaan tambang. Era 1980-an, masuk perkebunan sawit dan HTI.
“Kepemilikan tanah diawali dengan menduduki suatu wilayah yang oleh masyarakat adat disebut sebagai tanah komunal. Tanah komunal ini memiliki kesatuan wilayah berbatasan dengan kampung tetangga. Seiring perkembangan zaman, maka sistem pemilikan individual mulai dikenal di dalam sistem pemilikan komunal,” ungkapnya.
Pengaturan atas kepemilikan lahan di Nusantara baru dikenal pada abad 18, yakni Undang-Undang Agraria 1870 sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah Hindia Belanda di tanah Jawa. Di Borneo pada saat itu, yang mengatur kepemilikan dan batas tanah adalah masyarakat asli penghuni wilayah itu sendiri. Merekalah penguasa tanah negerinya.
Akibatnya, papar Alex, konflik lahan di Kalimantan antara pemangku atau pewaris sah tanah adat dengan pendatang atau pengusaha semakin mengemuka. Dalam konflik lahan itu, masyarakat adat berada di pihak yang lemah. Dari itulah, Sekda menawarkan beberapa solusinya.
“Konflik sudah terjadi. Kita tidak lagi bertanya, siapa yang salah? Kita bersama-sama harus mencari solusinya. Duduk dan berdiskusi menyatukan persepsi. Seminar ini menjadi penting, agar kita memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap tanah adat warisan leluhur kita. Mari mencontoh yang baik dari Bali. Tanah tidak dijual, melainkan disewakan kepada orang asing, yang bukan Bali,” ujar Sekda.
Selain itu, ada lima unsur masyarakat hukum adat, yang kita komunitas Dayak memilikinya dan telah menyatu dalam segala aspek kehidupan, yaitu adat, budaya (bahasa dan seni), agama, norma, hukum adat dan tingkah laku. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 menyatakan, minimal 5 unsur masyarakat hukum adat di antaranya pertama, ada masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling), kedua, ada pranata pemerintahan adat, ketiga ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, keempat, ada perangkat norma hukum adat dan kelima, khusus bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur wilayah hukum adat tertentu.
“Kita semua memiliki kelima unsur masyarakat hukum adat itu. Langkah pelestarian tanah adat, yaitu menjaga tonah colap torutn pusaka atau hutan adat, yang masih tersisa, merevitalisasi dan menaman kembali tembawang buah janah, menjaga dan mengangkat tradisi, budaya Dayak, yaitu ritual adat mendirikan keramat padagi, ritual adat pesta panen Nyapat Tahun atau Naik Dango, ritual adat Senganyong Menjangkap Buah dan lain-lainnya,” paparnya. (*)